Friday, 26 December 2014

acidosis copas dari meevet.blogspot

Asidosis Metabolik pada Ruminansia

Pendahuluan
Asidosis adalah suatu kondisi patologis yang berhubungan dengan akumulasi asam atau menipisnya cadangan basa dalam darah dan jaringan tubuh, dan ditandai dengan konsentrasi ion hidrogen yang meningkat.  Asidosis metabolik pada hewan ruminansia dapat terjadi pada sapi potong maupun sapi perah yang diberikan pakan yang mengandung karbohidrat yang mudah di fermentasi (Greenwood dan McBride 2010).

Mikroba Anaerobik dalam rumen dan sekum akan melakukan fermentasi karbohidrat untuk menghasilkan VFA (Volatil Fatty Acid) dan laktat. Hewan ruminansia akan menyerap asam organik dari rumen dan usus untuk metabolisme oleh jaringan. Saat pasokan karbohidrat meningkat tiba-tiba (yaitu, saat menggunaan konsentrat yang memiliki kandungan pati yang tinggi), pasokan jumlah asam dan prevalensi laktat akan mengalami peningkatan. Biasanya, laktat ada dalam saluran pencernaan dalam konsentrasi yang rendah, tetapi ketika pasokan karbohidrat meningkat dengan tiba-tiba maka jumlah laktat akan menumpuk. Adanya penumpukan asam yang tiba-tiba dapat menyebabkan terjadinya penurunan pH darah dan rumen dan menyebabkan adanya kondisi asidosis (Owens et al. 1998). 

 Gambar 1  Sapi Perah (Dokumentasi pribadi)

Etiologi Asidosis
Asidosis metabolik umumnya di awali oleh adanya kondisi asidosis rumen (Greenwood dan McBride 2010). Retikulorumen merupakan organ pencernaan pada ruminansia yang memiliki ekosistem mikroba anaerobik. Mikroba dalam rumen melakukan proses pencernaan dengan fermentasi, substrat akan dirubah menjadi asam organik. Masuknya substrat dalam jumlah yang normal serta proses penyerapan yang baik akan menciptakan pH rumen yang stabil yaitu berkisar 5,8 – 6, 8.  Pada keadaan asidosis pH rumen biasanya dibawah 5,5 (Nagaraja dan Titgemeyer 2006).

Kejadian asidosis metabolik pada ruminansia terjadi karena adanya konsumsi karbohidrat yang mudah difermentasi secara berlebihan. Hal ini biasanya terjadi pada saat pemberian pakan dari biji-bijian. Biji-bijian seperti gandum dan jagung merupakan jenis pakan yang mangandung karbohidrat yang mudah difermentasi sehingga dapat menyebabkan kejadian asidosis. Pakan yang dikonsumsi oleh hewan ruminansia akan masuk kedalam rumen dan melewati tahap fermentasi oleh bakteri.  Bakteri rumen akan merespon adanya peningkatan kandungan karbohidrat yang mudah dicerna dengan peningkatan akvitas. Adanya peningkatan aktivitas bakteri rumen menyebabkan senyawa kimia yang dihasilkan juga meningkat seperti VFA dan laktat sehingga memungkinkan tejadinya asidosis rumen. Beberapa bakteri yang berperan adalah  Bifidobacterium, Butyrivibrio, Eubacterium, Lactobacillus, Mitsuokella, Prevotella, Ruminobacter, Selenomonas, Streptococcus, Succinimonas, dan Succinivibrio (Nagaraja dan Titgemeyer 2006).

Penurunan pH dalam rumen juga dapat disebabkan oleh adanya kondisi kerusakan lapisan epitel pada rumen. Jika terjadi kerusakan pada mukosa rumen maka kondisi penyerapan akan terganggu sehingga memungkinkan terjadinya kondisi asidosis rumen. Penyerapan yang lambat memungkinkan adanya peningkatan aktivitas mikroba rumen sehingga akan  menyebabkan produksi asam VFA dan laktat juga meningkat. Peningkatan dua senyawa kimia ini dalam rumen menyebabkan terjadinya penurunan pH rumen dan menyebabkan kejadian asidosis (Nagaraja dan Titgemeyer 2006).

Hasil fermentasi rumen berupa VFA dan laktat yang berlebihan akan diserap dan masuk kedalam darah. Masuknya VFA dan laktat secara berlebihan dalam darah yang menyebabkan terjadinya kondisi asidosis metabolik. Dalam darah terdapat mekanisme buffer yang dapat menetralkan asam yang masuk dalam darah. Kondisi asidosis terjadi saat jumlah asam yang masuk berlebihan dan jumlah buffer yang ada sedikit. Umumnya senyawa kimia yang bersifat buffer dalam darah ialah ion bikarbonat (HCO3-) (Owens et al. 1998).

Seiring dengan menurunnya pH darah, dan peningkatan ion H+ terjadi penurunan pembentukan urea dan peningkatan sinteasa glutamin di hati, serta peningkatan aktivitas ginjal (Greenwood dan McBride 2010).   Ginjal mengkompensasi keadaan asidosis dengan mengeluarkan asam pada urin. Selain itu kompensasi dari keadaan asidosis ialah adanya peningkatan ritme pernafasan. Pernafasan menjadi lebih dalam dan lebih cepat. Hal ini dilakukan sebagai usaha tubuh untuk menurunkan kelebihan asam dalam darah dengan cara menurunkan jumlah karbon dioksida. Asidosis metabolik terjadi terjadi jika terjadi kegagalan mekanisme buffer oleh tubuh. Dimana ginnjal atau paru-paru tidak berfungsi maksimal dalam mengeluarkan asam dalam tubuh. Walaupun demikian kondisi asidosis metabolik tetap terjadi jika jumlah asam yang masuk dalam tubuh berlebihan.

Laporan dari Greenwood dan McBride (2010) menyebutkan bahwa pada kondisi asidosis, ruminansia akan melaksanakan mekanisme peningkatan sintesa glutamine sehingga menyebabkan adanya peningkatan konsentrasi glutamine dalam plasma. Walaupun demikian pada kasus asidosis kronis, akan terjadi penurunan konsentrasi glutamine, hal ini disebabkan oleh penggunaan glutamine yang berlebihan saat awal kejadian asidosis. Glutamine adalah satu dari 20 asam amino yang memiliki rantai samping amida. glutamine dianggap sebagai molekul penyimpan NH+ di dalam otot dan transportasi antar organ bagi senyawa tersebut. Meskipun kadar glutamina di dalam protein otot hanya sekitar 4% dibandingkan dengan jumlah seluruh asam amino yang terkadung dalam protein tersebut, otot dalam mengandung lebih dari 40% glutamina dan plasma darah mengandung lebih dari 20%. Adanya sintesis glutamine dalam kasus asidosis yang berlebihan memungkinkan adanya pengambilan glutamine dari otot melalui mekanisme proteolisis otot. Pada ruminansia proses proteolisis otot tidak terjadi walaupun demikian dalam plasma tetap ditemukan adanya peningkatan konsentrasi glutamine.

Gejala Asidosis
Tanda asidosis yang biasa terlihat pada hewan ruminansia ialah adanya penurunan nafsu makan. Tanda-tanda klinis sangat bervariasi, tetapi biasanya menjadi jelas 12-36 jam setelah konsumsi pakan yang mudah di fermentasi. Dalam bentuk akut, asidosis yang cukup parah adalah pelemahan dari fungsi tubuh. Tanda paling awal adalah kelesuan. Berhentinya gerak ruminal adalah indikasi yang sangat kuat terjadinya asidosis karena hal ini diakibatkan oleh konsentrasi tinggi dari asam laktat dan VFA, khususnya butyrate. Kotoran awalnya pekat kemudian menjadi berair dan sering berbusa, dengan bau yang menyengat. Dehidrasi akan berkembang dalam waktu 24 hingga 48 jam. Hewan yang sembuh dapat meninggalkan rumenitis, laminitis, atau pembengkakan hati. Hewan yang mengalami asidosis subacute jarang menunjukkan tanda-tanda klinis (Owens et al. 1998).

Peningkatan pernafasan dapat terjadi pada beberapa sapi karena terjadinya peningkatan jumlah karbon dioksida sebagai upaya memperlunak metabolic asidosis. pH Ruminal mungkin baik dijadikan sebagai indikator asidosis subacute, namun pH ruminal dalam rentang asidosis subacute (5,0-5,5) kemungkinan tidak mencerminkan sebuah asidosis, kecuali yang berkelanjutan. Oleh karena itu, sampel isi ruminal untuk pengukuran pH, selain sangat tidak praktis karena nilainya terbatas. Pada kondisi asidosis metabolik beberapa parameter yang dapat digunakan untuk menilai kondisi asidosis ialah dengan mengukur  pH, total  karbon dioksida dan bikarbonat (HCO3)  dalam darah. Selain itu dapat juga dilakukan pengukuran pH urin (Greenwood dan McBride 2010).

Indikator pH darah merupakan indikator penting dalam penentuan kejadian asidosis pada hewan. Keadaan asidosis umumnya ditunjukkan oleh adanya penurunan pH yaitu dibawah 7,35. Selain ini akan terlihat adanya peningkatan kadar asam laktat dan hematokrit (PCV) dalam darah serta terdeteksinya endotoxin dan mediator inflamasi dalam darah (Owens et al. 1998).

Pengendalian Asidosis
Pengendalian asidosis cukup  dipengaruhi oleh manajemen nutrisi. Evaluasi tentang manajemen nutrisi adalah langkah pertama dalam mengendalikan asidosis. Salah satu strategi untuk meminimalkan risiko yang berkaitan dengan pakan yang tinggi tingkat fermentasinya (gandum, barley, jagung, dan sebagainya) adalah mencampur pakan dengan fermentasi tinggi dengan bahan-bahan yang lebih rendah tingkat fermentasi patinya. Efisiensi pada kombinasi pakan, lebih baik dibandingkan dengan menggunakan satu pakan (Owens et al. 1998).

Umumnya, hijauan ditambahkan ke pakan finishing untuk mengendalikan asidosis. Dengan adanya pemberian hijauan dengan bahan kasar yang tinggi dapat menjaga integritas dari papila rumen. Papila rumen yang normal memiliki ukuran permukaan mukosa  yang lebih luas sehingga proses absorbsi dan pencernaan makanan akan menjadi lebih baik. 

Selain dengan manajemen nutrisi, kasus asidosis juga dapat diatasi dengan pemberian pakan aditif yang dapat menghambat pembentukan mikroba yang menghasilkan laktat. Pemberian beberapa jenis bakteri tertentu, mencegah adanya pembentukan glukosa dan asam laktat yang berlebihan sehingga kejadian asidosis dapat di hindari (Owens et al. 1998).

Daftar Pustaka

Owens FN, Secrist DS, Hill WJ, Gill DR. 1998. Asidosis in Cattle: A Review.  J Anim Sci 76:275-286.
Greenwood SL, McBride BW. 2010. Development and characterization of the ruminant model of metabolic acidosis and its effects on protein turnover and amino acid status. Dalam Australasian Dairy Science Symposium. Proceedings of the 4th Australasian Dairy Science Symposium, Melbourne. Augustus 2010. Hal 400-404.

Saturday, 8 November 2014

Keracunan pakan unggas pada ternak sapi

Keracunan pada ternak sapi bisa disebabkan oleh berbagai zat atau senyawa kimia yang terkandung dalam pakan ternak maupun cemaran dari lingkungan. Tanda-tanda keracunan hanya akan muncul apabila jumlah racun yang tertelan mencapai kadar tertentu, sehingga kandungan senyawa beracun dalam pakan ternak tidak selalu mengakibatkan munculnya tanda-tanda keracunan.

Sudah menjadi kebiasaan para peternak sapi penggemukan untuk selalu mencari jenis-jenis pakan yang dapat mempercepat pertumbuhan daging. Berbagai usaha dilakukan untuk menambah nilai protein pakan dari mulai penambahan tepung ikan hingga mengolah berbagai jenis biji-bijian seperti biji bunga matahari, biji kapas dll. Sampai pada tahapan ini upaya peningkatan nilai protein pakan oleh para peternak masih dinilai wajar dan laporan kasus keracunan akibat penggunaan biji-bijian jarang sekali dilaporkan.

Seiring dengan naiknya harga pakan konsentrat, peternak berupaya mencari alternatif yang lain yakni dengan cara memberi makan ternak dengan "Kotoran Ayam", kotoran ayam yang dipakai umumnya adalah kotoran ayam pedaging dari usia 0 hingga 2 minggu. Asumsinya adalah pada fase ini banyak pakan konsentrat yang tidak tercerna dengan sempurna sehingga kandungan proteinnya masih tinggi, ditambah juga dengan pakan yang jatuh dan bercampur dengan kotoran. Hasil positif yang dirasakan peternak adalah adanya peningkatan berat badan yang lumayan sehingga sebagian peternak yang 'berduit' mencoba mengganti kotoran unggas dengan pakas unggas murni dengan harapan semakin cepat lagi pertambahan berat badan ternak.

Upaya penggunaan pakan unggas sebagai pakan ternak sapi ternyata tidak selalu berbuah positif, bahkan menjadi merugikan. Pakan unggas dibuat dari berbagai sumber protein baik protein hewani maupun nabati, dan umumnya ditambah dengan zat additif bukan makanan seperti anti biotik, nitrofuran dan senyawa arsenik(link). Penambahan zat additif telah terbukti tidak mempengaruhi kesehatan unggas bahkan dinilai positif karena dapat mencegah berkembang biaknya bakteri yang merugikan, namun akan lain ceritanya jika kemudian pakan unggas tersebut dijadikan pakan ternak sapi. Saat ini banyak sekali laporan kasus sapi mblenger akibat pemberian pakan unggas akibatnya sapi harus dipotong paksa dan pastinya dengan harga yang turun drastis jika dibanding dengan sapi dalam kondisi sehat.

Tanda keracunan pada sapi akibat pemberian pakan unggas adalah hipersalivasi, diare dan gangguan syaraf/lumpuh. Meskipun belum ada penelitian yang membuktikan bahwa penyebab keracunan pada ternak sapi yang diberi pakan unggas adalah kandungan arsenik dalam pakan unggas namun gejala yang muncul sangat bersesuaian dengan gejala keracunan akibat arsenik.

Mengingat resiko yang bisa ditimbulkan maka akan lebih baik dan lebih aman apabila peternak sapi tidak lagi mempergunakan pakan unggas sebagai pakan ternak sapi baik yang murni maupun yang bercampur dengan kotoran.

Tuesday, 4 November 2014

Pemeriksaan Kebuntingan pada Sapi

      Pemeriksaan kebuntingan pada sapi dapat dilakukan dengan cara palpasi per rektal. Palpasi atau perabaan dilakukan terhadap uterus, ovarium dan pembuluh darah melalui rectum atau saluran pembuangan. 
      Sebelum melakukan palpasi perlu dicari informasi terkait dengan sejarah perkawinan ternak yang bersangkutan, termasuk taggal melahirkan terakhir, tanggal dan jumlah perkawinan atau inseminasi buatan dan informasi setiap kondisi patologik dan penyakit yang pernah dialami. Catatan reproduksi yang lengkap dan akurat sangat bermanfaat untuk menentukan kebuntingan secara tepat dan cepat. 
        Pemeriksaan kebuntingan per rectal aman dilakukan setelah umur kebuntingan di atas 60 hari. Pada usia kebuntingan di atas 60 hari resiko kematian fetus akibat palpasi lebih kecil karena relative lebih kuat. Waktu yang lebih tepat untuk pemeriksaan kebuntingan adalah pada rentang 2 hingga 3 bulan kebuntingan, selain ada lebih banyak tanda kebuntingan juga relative lebih mudah.
Indikasi adanya kebuntingan melalui pemeriksaan per rectal menururt Mosez adalah : 
1.Palpasi cornua uteri yang membesar berisi cairan plasenta dari hari ke 30 sampai hari ke 90.    Umumnya pembesaran kornu terjadi pada kornu sebelah kanan.
2.Palpasi kantong amnion, dapat ditemukan pada umur kebuntingan 35 sampai 50 hari. Pemeriksaan harus dengan lembut dan hati hati. 
3.Selip selaput fetal, allantochorion, pada penjepitan secara luwes terhadap uterus di antara ibu jari dan telunjuk pada kebuntingan 40 sampai 90 hari.
4.Perabaan dan pemantulan kembali fetus di dalam uterus yang membesar. 
5.Palpasi placentoma 
6.Palpasi arteria uterine mediana yang membesar, berdinding tipis dan berdesir. 

 Penjelasan :
 Pembesaran koruna bunting dapat diukur dari diameter kornu, pada kebuntingan 60 sampai 90 hari diameter kornu ada pada kisaran 6 hingga 13 cm. Jumlah cairan fetal pada usia kebuntingan 90 hari antara 750 – 1400 ml, berat fetus antara 200 – 400 gram dan diameter placentom sekitar 1 – 1,5 cm. Arteri uterine mediana terletakpada ligamentum latae yang dapat berpindah pindah pada jarak 10 sampai 15 cm (dapat digerakkan). Pemeriksaan jangan dikacaukan dengan arteri illiaca interna yang dipertautkan erat dengan badan ilium. Pada sapi dara fremitus dapt diraba pada kebuntingan paling cepat 60 -75 hari yakni dengan diameter antara 0,15 sampai 0,30 cm. Pada hewan yang lebih tua baru dapat diraba pada usia kebuntingan 90 hari dengan diameter arteri anta 0,30 hingga 0, 45 cm.

Saturday, 16 August 2014

Tri days sickness, Demam Tiga Hari pada Sapi


Beberapa hari ini saya mendapatkan kasus ternak sapi yang mengalami demam tinggi yang disertai dengan nafas yang "ngos-ngosan", ruminasi yang terhenti dan leleran lendir yang banyak dari hidung..
Dari gejala-gejala yang muncul diagnosa dapat kita arahkan pada Bovine ephemeral fever atau biasa dikenal sebagai demam tiga hari. Mengingat kasus seperti ini sering terjadi pada musim pancaroba dan juga gejala penyakit yang muncul sering membuat gelisah para peternak, maka dalam kesempatan ini saya ingin mereview sedikit terkait penyakit demam tiga hari ini. Selamat menyimak.

Bovine ephemeral fever disebabkan oleh Ephemeral Fever Virus. Virus ini dapat ditularkan dari ternak terinfeksi kepada ternak yang lain melalui darah yang disuntikkan, artinya virus ini dapat ditularkan oleh serangga penghisap darah seperti nyamuk. Virus tidak menular melalui muntahan ataupun kontak langsung. Ternak yang pernah terinfeksi umumnya tidak terserang lagi karena sudah terbentuk antibodi di dalam tubuhnya yang bisa bertahan sepanjang hidupnya.

Morbiditas penyakit ini bisa sampai 80 %; kematian biasanya 1 - 2 %, bisa juga leabih tinggi hingga 10 -30 % pada sapi menyusui maupun sapi penggemukan. (sumber : Merckmanuals.com ).

Gejala yang ditimbulkan akibat infeksi virus ini adalah; demam dengan suhu 40 – 42°C, nafsu makan turun, lakrimasi, keluar lendir hidung, "ngoweh" atau keluar air ludah yang terus menerus, peningkatan detak jantung dan frekuensi pernafasan, rumen yang tidak bertonus/lembek, depresi, kekakuan otot, pincang dan turunnya produksi susu. Gejala yang muncul pada kasus BEF menurut saya akan menjadikan peternak merasa sangat khawatir terhadap ternaknya apalagi penyakit tersebut muncul dengan tiba-tiba.

Bagaimana menyikapi kasus seperti ini?
Ketika kita telah yakin bahwa penyebab penyakit adalah BEF maka kita dapat melaksanakan beberapa langkah berikut ini. Berikan istirahat yang cukup untuk ternak, jangan dipekerjakan, berikan obat anti radang seperti tolfen L.A. 8% sesegera mungkin dan diulang dalam 2 hingga 3 hari, hendaknya tidak diberikan obat melalui mulut kecuali masih memiliki reflek menelan, berikan antibiotik untuk mencegah infeksi sekunder dan rehidrasi dengan cairan isotonic jika tampak mengalami dehidrasi.